Oil was first in motion by the oil pump, through the oil channel. Before entering into the oil, oil melelui oil suction screen to be filtered before entering the oil pipeline. Once the oil in the pump by engine oil pump to spread throughout the engine components including crank shafts, cam shafts, connecting rods, pistons, combustion chamber, the rocker arm includes all the gear in the engine accessory case and After the Oil scavenger pumps will pump oil from engine back to the oil tank past the oil cooler. In the oil cooler, oil will then be channeled chill again after the oil temperature decreases. Contained in the oil cooler thermostat that functions as a valve. When the high temperature thermostat will open. then the oil will flow back into the engine that require lubrication and it will take place during the process is the engine on.
look more for world
Minggu, 28 September 2014
IMPLEMENTASI CINTA KASIH DALAMSKETSA CANDI BOROBUDUR
Hasil karya
yang termuat juga nilai cinta kasih kepada Tuhan NYA dan kepada sesama manusia
serta proses kehidupannya dapat termasuk dimulai dari sejarah candi Borobudur.
Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi
Borobudur dibangun oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa
pemerintahan Wangsa Syailendra. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti
Syailendra. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari
wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun
824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan
Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek
yang berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Kata Borobudur sendiri berdasarkan bukti
tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur
Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi nama candi ini. Tidak ada bukti
tertulis yang lebih tua yang memberi nama Borobudur pada candi ini.
Satu-satunya dokumen tertua yang menunjukkan keberadaan candi ini adalah kitab
Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Di kitab
tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat meditasi penganut
Buddha.
Arti nama Borobudur yaitu "biara di
perbukitan", yang berasal dari kata "bara" (candi atau biara)
dan "beduhur" (perbukitan atau tempat tinggi) dalam bahasa Sansekerta.
Karena itu, sesuai dengan arti nama Borobudur, maka tempat ini sejak dahulu
digunakan sebagai tempat ibadat penganut Buddha.
Struktur Candi Borobudur
Candi
Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Yogyakarta.
Candi Borobudur memiliki 10 tingkat yang terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur
sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai
puncaknya. Di setiap tingkat terdapat beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72
stupa, selain stupa utama. Di setiap stupa terdapat patung Buddha. Sepuluh tingkat
menggambarkan filsafat Buddha yaitu sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus
dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha di nirwana. Pencapaian
nirwana tersebut ialah proses terjadinya manusia dalam ajaran Buddha kemudian
kembali pada nirvana yang semua proses itu disebut dengan reinkanansi. Proses
reikanansi dilalui sesuai dengan ajaran yang benar agar mendapat kesempurnaan
nirvana. Kesempurnaan ini dilambangkan oleh stupa utama di tingkat paling atas.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala yang menggambarkan kosmologi
Buddha dan cara berpikir manusia. Cara berpikir ini adalah bagian dari
hakekat manusia. Dimana manusia menggunakan akal pikiran hasil dari evolusi
otak. Dari akal pikiran tersebut, terpikirkan penerapan berbagai ragam ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan hubungan vertikal maupun horizontal sesama
makhluk hidup. Melalui akal pikiran manusia mampu memprediksi, membuat,
mengambil dan menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari akal pikiran
juga akan timbul berbagai dorongan atau naluri positif untuk kelangsungan
hidup. Manusia dengan perasaannya dipengaruhi oleh akal pikirannya, dalam
konteks ini ada berbagai macam dorongan atau kehendak baik positif maupun
negatif. Titik kontrol dorongan tersebut kembali lagi kepada individu sendiri tergantung
tingkat ilmu yang diketahui dan keimanannya.
Dalam
hidup berkelompok, akal pikiran tersebut kolektif pada rasa sosial terhadap
sesama sebagaimana mestinya hakekat kehidupan manusia.
Di keempat sisi candi terdapat pintu
gerbang dan tangga ke tingkat di atasnya seperti sebuah piramida. Hal ini
menggambarkan filosofi Buddha yaitu semua kehidupan berasal dari bebatuan. Batu
kemudian menjadi pasir, lalu menjadi tumbuhan, lalu menjadi serangga, kemudian
menjadi binatang liar, lalu binatang peliharaan, dan terakhir menjadi manusia.
Proses ini disebut sebagai reinkarnasi. Proses terakhir adalah menjadi jiwa dan
akhirnya masuk ke nirwana. Setiap tahapan pencerahan pada proses kehidupan ini
berdasarkan filosofi Buddha digambarkan pada relief dan patung pada seluruh
Candi Borobudur.
Bangunan raksasa ini hanya berupa tumpukan
balok batu raksasa yang memiliki ketinggian total 42 meter. Setiap batu
disambung tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu ini hanya disambung
berdasarkan pola dan ditumpuk. Bagian dasar Candi Borobudur berukuran sekitar
118 m pada setiap sisi. Batu-batu yang digunakan kira-kira sebanyak 55.000
meter kubik. Semua batu tersebut diambil dari sungai di sekitar Candi
Borobudur. Batu-batu ini dipotong lalu diangkut dan disambung dengan pola
seperti permainan lego. Semuanya tanpa menggunakan perekat atau semen.
Sedangkan relief mulai dibuat setelah
batu-batuan tersebut selesai ditumpuk dan disambung. Relief terdapat pada
dinding candi. Candi Borobudur memiliki 2670 relief yang berbeda. Relief ini
dibaca searah putaran jarum jam. Relief ini menggambarkan suatu cerita
yang cara membacanya dimulai dan diakhiri pada pintu gerbang di sebelah timur.
Hal ini menunjukkan bahwa pintu gerbang utama Candi Borobudur menghadap timur
seperti umumnya candi Buddha lainnya.
Perayaan
Waisak
Setiap
tahun pada bulan purnama penuh pada bulan Mei atau ( Juni pada tahun kabisat),
umat Buddha di Indonesia memperingati Waisak di Candi Borobudur. Waisak
diperingati sebagai hari kelahiran, kematian dan saat ketika Siddharta Gautama
memperoleh kebijaksanaan tertinggi dengan menjadi Buddha Shakyamuni. Ketiga
peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak.
Upacara Waisak dipusatkan pada tiga buah candi Buddha dengan berjalan dari Candi
Mendut ke Candi Pawon dan berakhir di Candi Borobudur.
Pada
malam Waisak, khususnya saat detik-detik puncak bulan purnama, penganut Buddha
berkumpul mengelilingi Borobudur. Pada saat itu, Borobudur dipercayai sebagai
tempat berkumpulnya kekuatan supranatural. Menurut kepercayaan, pada saat
Waisak, Buddha akan muncul secara kelihatan pada puncak gunung di bagian
selatan candi Borobudur.
Tahun 2009 lalu beberapa biksu dari berbagai
negara saat mengunjungi candi Buddha di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah
mengatakan, “Candi Borobudur tidak hanya milik Indonesia, tetapi juga milik
dunia. Menurutnya, di sekitar Candi Borobudur sebaiknya diberi tempat untuk
membangun stupa-stupa Budha dari berbagai negara, seperti Thailand, Burma, dan
Vietnam dan lain-lain yang masing-masing mempunyai ciri khas. "Dengan
demikian, Candi Borobudur yang merupakan lambang cinta dan belas kasih, bisa
semakin menarik masyarakat intenasional," katanya. Dari kunjungan para
biksu diharapkan bisa membangun rasa tenteram masyarakat dan kekuatan spiritual
yang akan mendorong masyarakat untuk bangkit.
Dari sudut pandang lain dengan adanya opini
tersebut, jika teralisasikan akan membawa dampak positif dan beberapa dampak
negatif. Bila pembuatan patung dilakukan oleh masyarakat sekitar, akan
menaikkan tingkat ekonomi kelompok masyarakat tersebut. Namun bila dari pihak
pengelola pengembang yang mewujudkan opini tersebut lebih memilih dan
mengutamakan pihak yang lebih ahli diluar masyarakat asli. Hal itu akan memicu
konflik di lingkungan masyarakat. Apalagi bila ditambah masyarakat asli tidak
diikut libatkan sedikitpun terhadap pengembangan industri itu.
Namun,
dari kelompok penyelenggara yang tentu sudah ahli dalam bidang tersebut juga
mempunyai dasar yang kuat terhadap jlan yang akan diambilnya itu. Karena
pembuatan patung Buddha tidak sembarang dalam membuatnya. Dasar yang
disampaikan ini mungkin menambah panasnya konflik yang dipicu oleh sedikit
kalangan yang mempunyai pandangan skeptis. Aibatnya perbuatan anarki akan marak
dilakukan. Jika benar tidak dilibatkan dalam pengembangannya. Ini akan memberi
citra buruk terhadap tujuan yang mulia yang ada pada sumbernya. Sehingga bila
perwujudan itu dilakukan, sebaiknya pemerintah juga mempertimbangkan peran
masyarakat asli disekitar lingkungan tempat yang hendak dikembangkan. Yang akan
membawa manfaat peningkatan kesejahteraan yang merata, dengan itu maka terjadi
interaksi sosial yang baik sesama manusia.
Sabtu, 27 September 2014
Tidak Ada Demokrasi Islam
Banyak orang
apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa agama islam adalah agama
demokrasi. Dan Islam mengajarkan kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara
dengan asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan syura/permusyawaratan.
Anggapan ini
adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara
kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak
timur dan
barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari banyak umat islam.
barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari banyak umat islam.
Prinsip Syura
Pertama: Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada
dalilnya.
Sebagaimana
telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk
mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang
siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat,
sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
“Diriwayatkan
dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq)
bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia
lakukan
ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)
ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)
Dari kisah
ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan
yang tidak ada satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila
permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qur’an atau hadits
shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan
nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut. Adapun sistim
demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan
undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh
setiap orang, bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek
prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.
Prinsip
Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang
menyuarakannya.
Oleh karena
itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota
musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat
mereka tidak
boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.
boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.
“Dari
sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan: Setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggal dunia, dan Abu Bakar
ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur
(murtad dari Islam), Umar bin Khattab
berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)
berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Begitu juga
halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap
mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin
Zaid radhiyallahu ‘anhu yang
sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.
sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.
Abu Bakar
berkata kepada seluruh sahabat yang menentang
keputusan beliau:
keputusan beliau:
“Sungguh
demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang
buas
mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].
mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].
Imam As
Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk
bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya
suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan
untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342]
untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342]
Penjelasan
Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:
“Dan apa
yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.”
(QS. Asy-Syura: 10)
Ayat-ayat
yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban
mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya. Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
dan Islam bukan agama demokrasi. Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.
dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya. Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
dan Islam bukan agama demokrasi. Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.
Karena
musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi
anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing,
dan
mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing.
mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing.
Beda halnya
dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang
mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat,
siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang
kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan
gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan
mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran
bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
kemaksiatannya. Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:
bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
kemaksiatannya. Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:
Pertama:
Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa manusia) maka tidak layak
dan tidak dibenarkan menggunakan istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam
yang telah sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta selamat dari
makna yang batil.
Kedua:
Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai (tasyabbuh) dengan
orang-orang kafir, dan Islam telah mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai
orangorang
kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka.” (Abu Dawud
dll)
Dalam sistem
demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat
akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka
mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka
dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi
pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena
ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti
“tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.
Wahai kaum
Muslim, Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara
besar pengemban ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan
dan wajah manis yang disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi
sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya, waspadalah dalam mensikapi
berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di dunia Islam.
Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:
Telah nampak
kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih
besar (TQS. Ali Imran[3]:118).
dikutip dari:
EBOOK “MELURUSKAN KERANCUAN SEPUTAR ISTILAH-ISTILAH SYARIAT”
Penulis:
Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
(Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)
EBOOK “MELURUSKAN KERANCUAN SEPUTAR ISTILAH-ISTILAH SYARIAT”
Penulis:
Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
(Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)
Langganan:
Postingan (Atom)