look more for world: 2014

Minggu, 28 September 2014

Oil System Engine Cessna 172

Oil was first in motion by the oil pump, through the oil channel. Before entering into the oil, oil melelui oil suction screen to be filtered before entering the oil pipeline. Once the oil in the pump by engine oil pump to spread throughout the engine components including crank shafts, cam shafts, connecting rods, pistons, combustion chamber, the rocker arm includes all the gear in the engine accessory case and After the Oil scavenger pumps will pump oil from engine back to the oil tank past the oil cooler. In the oil cooler, oil will then be channeled chill again after the oil temperature decreases. Contained in the oil cooler thermostat that functions as a valve. When the high temperature thermostat will open. then the oil will flow back into the engine that require lubrication and it will take place during the process is the engine on.
 

IMPLEMENTASI CINTA KASIH DALAMSKETSA CANDI BOROBUDUR


Hasil karya yang termuat juga nilai cinta kasih kepada Tuhan NYA dan kepada sesama manusia serta proses kehidupannya dapat termasuk dimulai dari sejarah candi Borobudur. Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Kata Borobudur sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi nama candi ini. Tidak ada bukti tertulis yang lebih tua yang memberi nama Borobudur pada candi ini. Satu-satunya dokumen tertua yang menunjukkan keberadaan candi ini adalah kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Di kitab tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat meditasi penganut Buddha.
Arti nama Borobudur yaitu "biara di perbukitan", yang berasal dari kata "bara" (candi atau biara) dan "beduhur" (perbukitan atau tempat tinggi) dalam bahasa Sansekerta. Karena itu, sesuai dengan arti nama Borobudur, maka tempat ini sejak dahulu digunakan sebagai tempat ibadat penganut Buddha.

Struktur Candi Borobudur
Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Yogyakarta. Candi Borobudur memiliki 10 tingkat yang terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Di setiap tingkat terdapat beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72 stupa, selain stupa utama. Di setiap stupa terdapat patung Buddha. Sepuluh tingkat menggambarkan filsafat Buddha yaitu sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha di nirwana. Pencapaian nirwana tersebut ialah proses terjadinya manusia dalam ajaran Buddha kemudian kembali pada nirvana yang semua proses itu disebut dengan reinkanansi. Proses reikanansi dilalui sesuai dengan ajaran yang benar agar mendapat kesempurnaan nirvana. Kesempurnaan ini dilambangkan oleh stupa utama di tingkat paling atas. Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala yang menggambarkan kosmologi Buddha dan cara berpikir manusia. Cara berpikir ini adalah bagian dari hakekat manusia. Dimana manusia menggunakan akal pikiran hasil dari evolusi otak. Dari akal pikiran tersebut, terpikirkan penerapan berbagai ragam ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hubungan vertikal maupun horizontal sesama makhluk hidup. Melalui akal pikiran manusia mampu memprediksi, membuat, mengambil dan menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari akal pikiran juga akan timbul berbagai dorongan atau naluri positif untuk kelangsungan hidup. Manusia dengan perasaannya dipengaruhi oleh akal pikirannya, dalam konteks ini ada berbagai macam dorongan atau kehendak baik positif maupun negatif. Titik kontrol dorongan tersebut kembali lagi kepada individu sendiri tergantung tingkat ilmu yang diketahui dan keimanannya.
Dalam hidup berkelompok, akal pikiran tersebut kolektif pada rasa sosial terhadap sesama sebagaimana mestinya hakekat kehidupan manusia.
            Di keempat sisi candi terdapat pintu gerbang dan tangga ke tingkat di atasnya seperti sebuah piramida. Hal ini menggambarkan filosofi Buddha yaitu semua kehidupan berasal dari bebatuan. Batu kemudian menjadi pasir, lalu menjadi tumbuhan, lalu menjadi serangga, kemudian menjadi binatang liar, lalu binatang peliharaan, dan terakhir menjadi manusia. Proses ini disebut sebagai reinkarnasi. Proses terakhir adalah menjadi jiwa dan akhirnya masuk ke nirwana. Setiap tahapan pencerahan pada proses kehidupan ini berdasarkan filosofi Buddha digambarkan pada relief dan patung pada seluruh Candi Borobudur.
Bangunan raksasa ini hanya berupa tumpukan balok batu raksasa yang memiliki ketinggian total 42 meter. Setiap batu disambung tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu ini hanya disambung berdasarkan pola dan ditumpuk. Bagian dasar Candi Borobudur berukuran sekitar 118 m pada setiap sisi. Batu-batu yang digunakan kira-kira sebanyak 55.000 meter kubik. Semua batu tersebut diambil dari sungai di sekitar Candi Borobudur. Batu-batu ini dipotong lalu diangkut dan disambung dengan pola seperti permainan lego. Semuanya tanpa menggunakan perekat atau semen.
Sedangkan relief mulai dibuat setelah batu-batuan tersebut selesai ditumpuk dan disambung. Relief terdapat pada dinding candi. Candi Borobudur memiliki 2670 relief yang berbeda. Relief ini dibaca searah putaran jarum jam. Relief ini menggambarkan suatu cerita yang cara membacanya dimulai dan diakhiri pada pintu gerbang di sebelah timur. Hal ini menunjukkan bahwa pintu gerbang utama Candi Borobudur menghadap timur seperti umumnya candi Buddha lainnya.

 Perayaan Waisak
Setiap tahun pada bulan purnama penuh pada bulan Mei atau ( Juni pada tahun kabisat), umat Buddha di Indonesia memperingati Waisak di Candi Borobudur. Waisak diperingati sebagai hari kelahiran, kematian dan saat ketika Siddharta Gautama memperoleh kebijaksanaan tertinggi dengan menjadi Buddha Shakyamuni. Ketiga peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak. Upacara Waisak dipusatkan pada tiga buah candi Buddha dengan berjalan dari Candi Mendut ke Candi Pawon dan berakhir di Candi Borobudur.
Pada malam Waisak, khususnya saat detik-detik puncak bulan purnama, penganut Buddha berkumpul mengelilingi Borobudur. Pada saat itu, Borobudur dipercayai sebagai tempat berkumpulnya kekuatan supranatural. Menurut kepercayaan, pada saat Waisak, Buddha akan muncul secara kelihatan pada puncak gunung di bagian selatan candi Borobudur.
Tahun 2009 lalu beberapa biksu dari berbagai negara saat mengunjungi candi Buddha di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah mengatakan, “Candi Borobudur tidak hanya milik Indonesia, tetapi juga milik dunia. Menurutnya, di sekitar Candi Borobudur sebaiknya diberi tempat untuk membangun stupa-stupa Budha dari berbagai negara, seperti Thailand, Burma, dan Vietnam dan lain-lain yang masing-masing mempunyai ciri khas. "Dengan demikian, Candi Borobudur yang merupakan lambang cinta dan belas kasih, bisa semakin menarik masyarakat intenasional," katanya. Dari kunjungan para biksu diharapkan bisa membangun rasa tenteram masyarakat dan kekuatan spiritual yang akan mendorong masyarakat untuk bangkit.
Dari sudut pandang lain dengan adanya opini tersebut, jika teralisasikan akan membawa dampak positif dan beberapa dampak negatif. Bila pembuatan patung dilakukan oleh masyarakat sekitar, akan menaikkan tingkat ekonomi kelompok masyarakat tersebut. Namun bila dari pihak pengelola pengembang yang mewujudkan opini tersebut lebih memilih dan mengutamakan pihak yang lebih ahli diluar masyarakat asli. Hal itu akan memicu konflik di lingkungan masyarakat. Apalagi bila ditambah masyarakat asli tidak diikut libatkan sedikitpun terhadap pengembangan industri itu.
Namun, dari kelompok penyelenggara yang tentu sudah ahli dalam bidang tersebut juga mempunyai dasar yang kuat terhadap jlan yang akan diambilnya itu. Karena pembuatan patung Buddha tidak sembarang dalam membuatnya. Dasar yang disampaikan ini mungkin menambah panasnya konflik yang dipicu oleh sedikit kalangan yang mempunyai pandangan skeptis. Aibatnya perbuatan anarki akan marak dilakukan. Jika benar tidak dilibatkan dalam pengembangannya. Ini akan memberi citra buruk terhadap tujuan yang mulia yang ada pada sumbernya. Sehingga bila perwujudan itu dilakukan, sebaiknya pemerintah juga mempertimbangkan peran masyarakat asli disekitar lingkungan tempat yang hendak dikembangkan. Yang akan membawa manfaat peningkatan kesejahteraan yang merata, dengan itu maka terjadi interaksi sosial yang baik sesama manusia.

Sabtu, 27 September 2014

Tidak Ada Demokrasi Islam



Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan syura/permusyawaratan.
Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan
barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan
beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman
yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari banyak umat islam.
Prinsip Syura Pertama: Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.
Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan
ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat
yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah
(hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)
Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut. Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.
Prinsip Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya.
Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak
boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung
atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan: Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggal dunia, dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab
berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi
mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka
barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang
sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.
Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang
keputusan beliau:
“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas
mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah
menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku
akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].
Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan
untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka
katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342]
Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:
“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)
Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang
demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya. Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi,
sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
dan Islam bukan agama demokrasi.
Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.
Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan
mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami
setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing.
Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran
bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan
yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
kemaksiatannya.
Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:
Pertama: Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta selamat dari makna yang batil.
Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orangorang
kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka.” (Abu Dawud dll)
Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti “tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.
Wahai kaum Muslim, Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:
Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).
dikutip dari:
EBOOK “MELURUSKAN KERANCUAN SEPUTAR ISTILAH-ISTILAH SYARIAT”
Penulis:
Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
(Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)